Jumat, 29 Juni 2012

makalah psikolinguistik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Proses berbahasa dimulai dengan semantic, gramatika, dan fonologi. Yang ketiga komponen tersebut akan menjalar pada oragan system saraf manusia. Dalam berbicara terdapat beberapa gangguan yang harus diketahui berupa gangguan dari berbicaranya psikogenetik, biologis, berfikir, dan gangguan akibat mutifaktorial. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasanya terganggu. Gangguan berbahasa merupakan keterlambatan dalam sektor bahasa yang dialami oleh seseorang. Kemampuan berbahasa merupakan suatu indikator seluruh perkembangan seseorang. Jika seseorang tidak mampu tidak mampu berbicara maka dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan mengungkapkan perasaannya kelak.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas dan mencoba menemukan beberapa gangguan dalam berbahasa, yang diambil dari sumber referensi yang didapatkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gangguan dalam berbahasa?
2.      Bagaimana hubungan gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Gangguan dalam berbahasa
1.    Gangguan Berbahasa
Otak manusia memiliki fungsi sangat beragam. Salah satu fungsinya adalah melakukan pemrosesan bahasa. Fungsi ini tidak ditemukan secara lengkap dan memadai pada makhluk hidup lainnya. Dengan ditakdirkannya fungsi berbahasa pada otaknya, manusia bisa mendengar dan dengan serta merta dapat memroses dan memahami bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan, meskipun masih dalam taraf pemahaman yang dangkal. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat dan rinci masih perlu proses persepsi dan interpretasai (penafsiran) yang lebih intensif terhadap unsur-unsur kata, mengingat kembali dan menggabungkan aspek sintaksis dan semantik kata-kata tersebut, serta memadukan makna yang dikandung oleh semua konstituen tersebut.[1]
Akan tetapi tidak semua orang memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan atau mengikuti proses tersebut. Ketidakmampuan itu antara lain berkaitan dengan kondisi fisiologis otak seorang individu. Sebagaimana yang sudah diterima secara lisan bahwa dalam otak manusia ada dua daerah khusus yang berperan dalam pemrosesan bahasa, yaitu daerah Broca dan daerah Wernicke. Informasi atau stimulus ekspesif kata-kata disimpan dan diproses didaerah Broca, sedangkan stimulus komprehensi kata-kata disimpan dan diproses di daerah Wernicke. Gangguan atau cedera otak yang salah satu akibatnya mengganggu kemampuan berbahasa atau berbicara sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kerusakan atau gangguan pada kedua daerah tersebut menimbulkan gangguan berbahasa yang disebut afasia dan penderita gangguan ini disebut aphasic. Berdasarkan wujud ujaran atau bahasa yang dihasilkannya, kerusakan pada kedua daerah tersebut memperlihatkan karakteristik yang berbeda, sehingga dikenal afasia Broca dan afasia Wernicke.
Sebagaimana dikatakan diatas, munculnya afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam otak. Menurut strukturnya otak manusia terbagi menjadi dua sisi, yaitu hemisfer kiri dan kanan. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa hemisfer kiri lebih dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan hemisfer kanan dalam aktivitas nonverbal. Kemampuan verbal termasuk salah satu wujud proses mental tingkat tinggi yang banyak tergantung pada korteks serebal terbagi menjadi dua hemisfer. Salah satu bukti bahwa aktivitas berbahasa dikendalikan oleh hemisfer kiri, yaitu hasil beberapa kajian yang menemukan bahwa pada umumnya gangguan atau cedera pada daerah tertentu pada hemisfer kiri otak cenderung diikuti oleh terjadinya afasia, sementara cedera pada hemisfer kanan.
2.    Macam-macam Gangguan Berbahasa
Gangguan berbahasa secara biologis disebabkan ketidaksempurnaan organ. Contohnya yaitu yang dialami tunarungu, tunanetra dan penyandang gangguan mekanisme berbicara. Pada penderita tunarungu, pendekatan medern yang digunakan untuk mendidik tunarungu memprioritaskan pada pengajaran bahasa isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa ibu, tunarungu kemudian memahami bahasa lisan dan tulis sebagai bahasa kedua. Dewasa ini mengajarkan pemahaman membaca gerak bibir lebih ditekankan. Namun demikian bagi penderita tunarungu dengan kerusakan pendengaran yang sangat parah hanya dapat diajari dengan bahasa isyarat.
Kemampuan anak tunarungu memahami bahasa isyarat sama cepatnya dengan kemampuan anak normal belajar bahasa. Bahkan, kemampuan memproduksi ujaran pada anak tunarungu justru lebih cepat dibandingkan dengan anak normal.
Secara umum perkembangan bahasa pada anak tunarungu ditentukan oleh 3 faktor mendasar:
1.      Tingkat kerusakan pendengaran
2.      Status pendengaran orangtua (apakah normal atau tunarungu)
3.      Usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta konsistensi latihan berkomunikasi.
Pada penderita tunanetra beberapa keraguan mengenai kemampuannya berbahasa kerap dilontarkan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penderita tunanetra ternyata memperoleh sistem fonologi lebih lambat dari pada orang normal. Penderita tunanetra kadang bingung dengan fonem yang mirip dalam pengucapan. Kemampuan anak tunanetra sama dengan anak normal ketika mulai meracau dan mengatakan kata-kata pertama. Namun demikian terdapat perbedaan pada isi kosakata awal mereka. Anak tunanetra umumnya kurang memvariasikan kata krja, hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbatasan pengkategorian yang berdampak pada keberagaman kosakatanya.
Ketidaksempurnaan organ wicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan( perkataan ) yang sejatinya terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme berbicara.
1)   Gangguan berbahasa secara biologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
(a)    Gangguan akibat faktor pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Pada penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
(b)   Gangguan akibat faktor laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
(c)    Gangguan akibat faktor lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih jika digerakkan. Untuk mencegah rasa sakit itulah cara berbicara diatur dengan gerak lidah yang dibatasi. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Berbicaranya menjadi pelo yang dialami istilah medis disebut disatria (terganggunya artikulasi).
(d)   Gangguan akibat faktor resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi sengau. Misalnya yang diderita orang sumbing akibat gangguan resonansi pada langit-langi keras pada rongga mulut. Selain itu juga terjadi pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak. Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya sahingga suaranya menjadi bersengau.[2]
2)   Gangguan berbahasa secara psikogenik
Variasi cara berbicara yang normal, namun memiliki ujaran yang berirama tersendat-sendat yang bias mencerminkan sikap mental sipembicara. Gangguan berbicara psikogenetik ini antara lain sebagai berikut:
(a)    Berbicara manja
Dikatakan berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Contohnya ada anak kecil yang terjatuh kemudian terluka maka dia akan mengatakan “caya cakit..”. fonem atau bunyi (s) yang dilafalkan sebagai bunyi (c). Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo, yang memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral.
(b)   Berbicara kemayu
Hal ini biasanya berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Bicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang. Gangguan ini dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama dilanda oleh kaum pria.
(c)    Berbicara gagap
Yaitu berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti lalu mengulang-ulang suku pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.penyebab timbulnya gagap belum diketahui secara tuntas. Namun ada beberapa hal yang dianggap berperan  yaitu:
1.   Factor stress
2.   Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah
3.   Adanya kerusakan pada belahan otak (hamisfer) yang dominan
4.   Factor neurotic famial (penyakit saraf keturunan)
(d)   Berbicara latah
Latah atau ekolalla yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain. Latah juga merupakn suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repatitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.yang sering dihingapi sindrom ini adalah wanita berumur 40 tahun keatas. Timbulnya latah ini berkorelasi dengan kepribadian histeris.[3]
3)   Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran (gangguan kognitif) dapat berupa hal-hal berikut:
(a)    Pikun (Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan banyak gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan prilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan ini menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang, pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau sering berpindah ke topik lain.
(b)   Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus menerus, ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan sedikit tambahan atau dikurangi beberapa kalimat. Gaya bahasa sisofrenik dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan criteria. Yang utama adalah diferensiasi.
(c)    Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitanya pada gaya bahasanya dan makna curah vebalnya.volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas yang dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Curah verbal depresif dicoraki topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan semangat bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan, malah cenderung berupaya mengakhirinya.
(d)   Down syndrome
Merupakan gangguan perkembangan anak yang bersifat medis dan secara tipikal bukan hanya menjadikan anak memiliki abnormalitas secara fisik melainkan juga secara mental. Secara genetic gangguan ini disebabkan oleh kondisi berlebihnya autosom 21 yanng diderita merata pada gender, baik laki-laki maupun perempuan.gangguan berbahasa penderita sindroma dwon bai anak-anak maupun dewasa, hanya bersifat terlambat. Maka proses pemerolehan bahasa yang dilaluinya mirip dengan urutan normal meskipun pada sebagian penderita tidak dapat mencapai kompetensi penuh sebagai pembicara dewasa normal.
Hal ini dapat diatasi dengan intervensi (campur tangan) dini yang baik dengan ditunjang diet ketat agar sari makanan yang berbahaya dapat dihindari sehingga akan mendukung proses perbaikan pada kondisi psikologis, neurologis (susunan dan fungsi system saraf), fisiologis, dan endokrin pada anak sindron dwon. 
(e)    Autisma
Gangguan ini berpangkal pada kemampuan berfikir. Ada dua perilaku autism yaitu:
1.   Perilaku eksesif (berlebihan) diantaranya: hiperaktif dan tantrum (mengamuk) yang berupa jeritan, menyepak, menggigit, mencakar, memukkul, dan sebagainya. Disini juga sering terjadi anak menyakiti diri sendiri.
2.   Perilaku yang defisit (berkekurangan) yang ditandai dengan gangguan bicara , perilaku social kurang sesuai. defisit sensoris yang menduga atau dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.[4]
4)   Gangguan akibat multifaktorial
                    Beberapa faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain:
(a)      Berbicara serampangan
Yaitu berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
(b)   Berbicara porpulsif
Biasanya terdapat pada penderita penyakit Parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah), penyakit penderita ini bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali memulai suatu gerakan, namun bila sudah bergerak makaa ia dapt terus-menerus tanpa henti.
(c)    Berbicara mutis (mutisme)
Penderita gangguan ini tidak berbicara sama sekali, ada yang menganggap membisu atau sengaja tidak mau berbicara. Mutisme tidak bias disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu tuli. Dalam hal kebisuan sebenarnya dibagi menjadi tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia dapat mendengar suaaraa-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bias memproduksi uaran bahasa dan juga tidak bias mendengar ujaran orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan tetapi alat pendengarannya rusak aatau ada kelainan.
5)   Gangguan Lingkungan Sosial
       Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan sosial adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya tidak normal dari lingkungan kehidupan sosial manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (eksperimen) bisa juga karena hidup bukan di dalam lingkungan manusia melainkan dipelihara oleh binatang. Seperti contoh :
a.       Kasus Kamala
Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala
( Chaurad 1983 : 68 )
b.      Kasus Genie
Seorang anak yang sejak berusia 20 bulan sampai 13 tahun 9 bulan secara sengaja oleh keluarganya  hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat.[5]
B.     Hubungan gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa
1.      Sikap berbahasa (language attitude)
Sikap berbahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Triandis (1971) menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”.
Menurut Alloprt (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyanngkut sikap itu. Sedangkan menurut Lambert (1967) menyatakan sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu:
(a)    Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berfikir.
(b)   Komponen efektif menyangkut masalah penilaian baik atau tidak baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka oaring itu dianggap memiliki sikap positif.
(c)    Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif dari suatu keadaan.
Garfin dan Mathoit (1968) merumuskan tiga cirri sikap bahasa, yaitu:
1)   Kesetiaan bahasa (language loyalty) mendorong suatu masyarakat untuk mempertahankan bahasanya dan mencegah pengaruh dari bahasa lain.
2)   Kebanggaan bahasa (language pride) mendorong orang untuk mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambing identitas dan kesatuan masyarakat.
3)   Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
 Gangguan berbahasa dan sikap berbahsa keduanya berkaitan dengan fenomena kejiwaan, termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Hal ini biasanya tidak bias diamati secara langsung. Dalam pengkajian antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ada fenomena yang tidak dapat dipisahkan yakni manusia – lingkungan – budaya - sosial – psikologi (kejiwaan).
2.      Hubungan Gangguan Berbahasa dengan Sikap Berbahasa
 Sangatlah jelas bahwa hubungan antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa itu sangat erat karena bahasa digunakan oleh diri sendiri berhubungan dengan kinerja otak yang dikaji oleh ilmu psikolinguistik juga bahasa merupakan alat sebagai komunikasi di masyarakat sebagai ilmu sosial yang dikaji oleh sosiolinguistik. Meskipun telah kita ketahui bahwa bahasa itu rumit dan sulit untuk dikaji. Tetapi jelas manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan selain untuk mengenalkan jati diri bahasa diperlukan untuk bersosialisasi dengan individu lainnya. Berbahasa berarti menggunakan bahasa dan kerja otak serta kejiwaan seorang individu sangat berpengaruh terhadap nilai kebahasaannya dan sikap berbahasanya. Dalam sikap berbahasa individu atau seseorang dikatakan memiliki sikap positif dalam menggunakan bahasa/tindak tutur yaitu ada dari tanggapan positif yang diberikan oleh lawan bicaranya. Disini terjadi proses komunikasi yang baik serta pesan yang disampaikan juga tertuju dengan baik.
Gangguan berbahasa dan sikap berbahasa keduanya berkaitan dengan fenomena kejiwaan, termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Hal ini biasanya tidak bisa diamati secara langsung. Dalam pengkajian antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ada fenomena yang tidak dapat dipisahkan yakni manusia – lingkungan – budaya – soaial – psikologi (kejiwaan).
Seseorang yang memiliki gangguan dalam berbahasa terkesan tidak memiliki sikap berbahasa atau sikap bahasanya itu negatif. Negatif disini berarti seseorang itu mendapat respon yang tidak baik dari lawan berbicara dan ketiga ciri-ciri bahasanya tidak nampak. Kita dapat memberikan penilaian terhadap seseorang bagaimana sikap bahasa orang tersebut dilihat dari respon yang diberikan oleh lawan bicaranya.
Ketika kita melihat seseorang yang memiliki gangguan berbahasa seperti orang yang menderita afasia motorik kortikal sedang berbicara dengan orang yang normal maka proses komunikasi secara lisan akan sulit terjalin dengan baik karena penderita afasia motorik kortikal ini dia akan menggunakan tangannya sebagai alat peraga sedangkan seseorang yang tidak memiliki gangguan berbahasa belum tentu paham dengan gerakan, sehingga pesan tidak dapat disampaikan dengan baik. Tanggapan dari lawan bicaranya pun akan berkurang atau tidak ditanggapi sama sekali, inilah contoh dari pernyataan seseorang yang memiliki gangguan berbahasa itu memiliki sikap yang negatif.
Kita bisa lihat dari segi psikologi seseorang yang memiliki gangguan berbicara, dia akan menunjukkan sikap yang berbeda, terkesan lebih sering diam karena terjadi sindrom lemahnya rasa percaya diri, mereka terkesan pemalu, merasa dirinya tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat.[6] 


BAB III
KESIMPULAN
A.    Gangguan Berbahasa
Munculnya afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam otak. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa hemisfer kiri lebih dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan hemisfer kanan dalam aktivitas nonverbal. Kemampuan verbal termasuk salah satu wujud proses mental tingkat tinggi yang banyak tergantung pada korteks serebal terbagi menjadi dua hemisfer. Salah satu bukti bahwa aktivitas berbahasa dikendalikan oleh hemisfer kiri, yaitu hasil beberapa kajian yang menemukan bahwa pada umumnya gangguan atau cedera pada daerah tertentu pada hemisfer kiri otak cenderung diikuti oleh terjadinya afasia, sementara cedera pada hemisfer kanan. Macam-macam dari Gangguan Berbahasa adalah:
1)   Gangguan berbahasa secara biologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
Gangguan akibat faktor pulmonal, Gangguan akibat faktor laringal dan Gangguan akibat faktor lingual
2)   Gangguan berbahasa secara psikogenik diantaranya:
Berbicara manja, kemayu, gagap, dan berbicara latah.
3)   Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran (gangguan kognitif) dapat berupa hal-hal berikut:
Pikun (demensia), sisofrenik, depresif, Down syndrom, dan autisma.
4)   Gangguan akibat multifaktorial
                          Beberapa faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain:
Berbicara serampangan, Berbicara porpulsif, dan Berbicara mutis (mutisme).
5)   Gangguan Lingkungan Sosial
Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (eksperimen) bisa juga karena hidup bukan di dalam lingkungan manusia melainkan dipelihara
B.     Hubungan Gangguan Berbahasa dengan Sikap Berbahasa
Gangguan berbahasa dan sikap berbahasa keduanya berkaitan dengan fenomena kejiwaan, termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Hal ini biasanya tidak bisa diamati secara langsung. Dalam pengkajian antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ada fenomena yang tidak dapat dipisahkan yakni manusia – lingkungan – budaya – soaial – psikologi (kejiwaan).




DAFTAR PUSTAKA

Harimukti Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Chaer Abdul. psikolinguistik kajian teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.
Tri cahyo Agus. Psikolinguistik.  Ponorogo: STAIN ponorogo. 2012.
Arifudin. neuro psikolinguistik. Jakarta: PT.raja grafindo persada. 2010.




[1]Arifudin, neuro psikolinguistik 2010 (Jakarta, PT.raja grafindo persada), hal.276
[2]Agus tri cahyo, psikolinguistik 2012 (ponorogo, STAIN ponorogo) hal.132-135
[3]Abdul chaer, psikolinguistik kajian teoretik 2003 (Jakarta, PT Rineka Cipta), hal.152-154
[4]Agus tri cahyo, psikolinguistik 2012 (ponorogo, STAIN ponorogo) hal.136-142
[5]Abdul chaer, psikolinguistik kajian teoretik 2003 (Jakarta, PT Rineka Cipta), hal.161-164.
[6] Harimukti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.197-198.